Jumat, 21 Januari 2011

Bencana Sepak Bola Indonesia


Oleh : Sonny Maramis Mingkid (Jakantor Community)

Peristiwa pada bulan Mei tahun 1985 dengan nama sebutan Tragedi Heysel muncul lagi di bumi Indonesia, kira-kira begitulah wajah sepak bola Indonesia saat ini. Di Stadion Heysel, Brussels, Belgia, pesta sepak bola final Piala Champions berubah menjadi bencana saat 39 penonton tewas, 32 di antaranya pendukung Juventus Italia, setelah bentrok dengan pendukung Liverpool Inggris. Kebanyakan pendukung Juventus Italia tewas setelah tembok pembatas roboh menimpa mereka selepas aksi agresif hooligan Liverpool yang memang terkenal sangat beringas.

Kini bencana yang hampir sama kembali menerpa Persepakbolaan nasional Indonesia. Saat bangsa Indonesia dilanda euphoria / pesta sepak bola berkat penampilan elok timnas Indonesia pada putaran Piala AFF bulan Desember 2010 yang penyisihan Grup dilaksanakan di dua Negara :

Grup A di Jakarta Indonesia

Peserta terdiri dari : 1.) Indonesia

2.) Malaysia

3.) Thailand

4.) Laos

Grup B di Hanoi Vietnam

Peserta terdiri dari : 1.) Vietnam

2.) Philipina

3.) Singapura

4.) Nyanmar

tetapi kegembiraan itu dirampas oleh arogansi dan politisasi para pengurus Pusat PSSI. Tragedi belum juga usai karena selepas turnamen, momentum hebat euforia sepak bola Nasional Indonesia kembali terbuang percuma saat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menghabiskan energinya untuk berseteru dengan pengelola Liga Primer Indonesia (LPI). Sepertinya, insan-insan sepak bola yang gagah mengaku sebagai pembina kembali melakukan kebodohan yang sama, seperti ketika kita kehilangan momentum besar kebangkitan sepak bola Nasional Indonesia pada Piala Asia 2007 di Jakarta Indonesia.

Sungguh tidak dapat diterima, justru Pengurus Pusat PSSI yang membuat penampilan hebat Firman Utina dan kawan-kawan menjadi antiklimaks dan tumbang oleh keperkasaan Malaysia yang pernah ditekuk 1-5 pada babak penyisihan grup A Piala AFF bulan Desember 2010 di Gelora Bung Karno Jakarta. Dukungan menggebu penonton yang sebenarnya telah teraniaya oleh buruknya administrasi distribusi tiket, seperti disia-siakan oleh ambisi para politikus di kepengurusan Pusat PSSI yang mendompleng kehebatan pasukan timnas Garuda. Tim asuhan Pelatih Alfred Riedl ini dimobilisasi sowan ke rumah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, kemudian diboyong ke sebuah pondok pesantren yang sungguh membuat persiapan Riedl menjadi berantakan.

Alfred Riedl, yang sejatinya pelatih bertangan dingin, yang mampu menyulap timnas Garuda menjadi sebuah skuad yang penuh gairah dan disiplin, sempat mengungkapkan kekesalannya itu kepada Wartawan pada saat jumpa pers di Bukit Jalil, Kuala Lumpur Malaysia. ”Federasi (PSSI) mengganggu persiapan tim saya dengan hal-hal yang tidak penting dan tak berkaitan dengan sepak bola,” ujar pelatih asal Austria pada saat itu.

Keluhan Alfred Riedl tersebut sangat dimengerti mengingat pelatih yang pernah menangani Vietnam dan Laos itu memang sangat disiplin, keras, bahkan cenderung kaku. Ketua Umum PSSI Nurdin Halid pun mengaku pernah diusir Alfred Riedl dalam sebuah pertemuan teknis menjelang Piala AFF. Alfred Riedl pun pernah berseteru dengan manajer timnas Indonesia, Andi Darussalam Tabussala, karena masalah tertib organisasi. Sayangnya, sepulang dari Bukit Jalil Kuala Lumpur Malaysia, Alfred Riedl tiba-tiba meralat ucapannya.

Inilah bencana pertama bagi dunia Sepak Bola nasional Indonesia. Kekuatan utama Alfred Riedl adalah pada disiplin dan kekakuannya menjaga Firman Utina dan kawan-kawan di timnas Indonesia. Pada suatu titik, Alfred Riedl rupanya sudah tidak tahan menahan beragam kepentingan Politik yang diboncengkan kepada timnas Indonesia. Alfred Riedl mulai menyerah saat Firman Utina dan rekan – rekannya di timnas Indonesia dibawa ke rumah pribadi keluarga Bakrie. Selanjutnya, kita semua tahu, timnas Indonesia gagal meraih impian lama merebut gelar juara pertama di Piala AFF tahun 2010

Namun, bukan kegagalan meraih juara yang benar sebuah bencana. Tragedi sesungguhnya adalah perubahan sikap Alfred Riedl. Ralatnya terhadap ucapannya sendiri di Bukit Jalil Kuala Lumpur Malaysia menunjukkan, Alfred Riedl menyerah kepada politisi Kepengurusan PSSI. Jika Alfred Riedl menyerah, artinya Alfred Riedl membuka pintu selebar-lebarnya pada intervensi-intervensi selanjutnya. Jika benar ini terjadi—dan semoga saja tidak—tidak ada lagi yang bisa kita bangsa Indonesia harapkan dari mantan ujung tombak timnas Austria itu.

Tak lama setelah bencana Alfred Riedl, sepak bola Nasional Indonesia kembali mengalami masa-masa kelam akibat perseteruan antara PSSI dan pengelola Liga Primer Indonesia (LPI). Sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja PSSI—yang selama delapan tahun masa kepengurusan Nurdin Halid tidak menghasilkan prestasi di tingkat internasional—kompetisi yang digagas oleh pengusaha Arifin Panigoro seharusnya disikapi wajar-wajar saja, tanpa perlu memberi muatan-muatan politik, apalagi syak wasangka picik.

Sebagai kompetisi yang dicita-citakan menjadi profesional dan bersih, seharusnya Liga Primer Indonesia (LPI) diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya tanpa harus diganggu, apalagi diancam-ancam. Sikap PSSI yang berkeras kepala dengan menyatakan Liga Primer Indonesia (LPI) sebagai kompetisi ilegal dan harus dilarang justru semakin menunjukkan arogansi organisasi Olah Raga tertua di Indonesia PSSI dibawah naungan Nurdin Halid, Nugraha Besoes beserta Konco – konconya

Jika Nurdin Halid, Nugraha Besoes beserta konco – konconya di kepengurusan Pusat PSSI bertindak lebih arif dengan memberikan ruang kepada Liga Primer Indonesia (LPI) untuk duduk bersama demi kebangkitan sepak bola nasional Indonesia, tampaknya kita bisa menghindarkan diri dari lanjutan bencana sepak bola. Kalaupun Nurdin Halid, Nugraha Besoes beserta Konco – konconya di kepengurusan Pusat PSSI tidak sepakat, tidak perlu pula membuang energinya dengan sikap konfrontatif yang akan merugikan sepak bola Nasional Indonesia.

Jauh lebih bermanfaat jika Nurdin Halid, Nugraha Besoes beserta konco – konconya di kepengurusan PSSI justru menyalurkan energinya untuk membenahi mutu kompetisi Liga Super Indonesia (LSI) yang meski sudah teratur dan makin besar kapitalisasinya, belum juga menghasilkan tim nasional Indonesia yang berprestasi. Mutu kompetisi, antara lain, bisa diangkat dengan menaikkan mutu pelatih dan wasit. Jika Nurdin Halid, Nugraha Besoes beserta konco – konconya di kepengurusan Pusat PSSI benar-benar mau bekerja keras, kita tidak lagi bicara pada level Asia Tenggara atau Piala AFF yang baru berlalu yang kategorinya masih berada di ”tingkat kecamatan” dalam tata pergaulan sepak bola Internasional. Dengan jutaan bakat yang tersebar di seluruh Nusantara, Indonesia seharusnya sudah berbicara di tingkat elite Asia dan lawan-lawan kita bukan lagi Malaysia atau Thailand, melainkan Jepang, Korea Selatan, atau Australia.

Syaratnya, Nurdin Halid, Nugraha Besoes beserta Konco – konconya di kepengurusan Pusat PSSI harus mulai bertindak menggulirkan kompetisi berjenjang dan benar-benar bekerja untuk pembinaan usia dini. Bakat-bakat istimewa yang dipunyai Okto Maniani, Yongki Ariwibowo, atau Arif Suyono seharusnya sudah berada di tingkat elite Asia, bukan klub lokal, jika mereka terbina dalam kompetisi bermutu sejak berusia 10-12 tahun.

Bola kini berada di tangan para petinggi PSSI (Nurdin Halid, Nugraha Besoes beserta Konco – konconya), apakah akan memilih terus berkonfrontasi atau mengambil langkah bijak menyelesaikan baik-baik masalahnya dengan Liga Primer Indonesia (LPI). Jika langkah pertama yang dipilih, bersiaplah menghadapi bencana sepak bola nasional Indonesia. Masih teringat pada suatu Kompetisi Piala AFF usia 16 Tahun di Stadion Manahan Solo Jawa Tengah belum lama ini timnas Indonesia dikalahkan oleh Negara pecahan dari Propinsi Indonesia (Negara Timor Leste). Kekalahan dari Timor Leste suatu saat mungkin akan terjadi dengan timnas Indonesia senior Indonesia kalau cara kerja Nurdin Halid, Nugraha Besoes beserta Konco – Konconya di kepengurusan PSSI masih mementingkan kantong pribadinya untuk terus memperkaya kekayaannya dari uang APBD, uang Pembinaan untuk usia muda dari FIFA yang angkanya mencapai beberapa Milyiar (uang sumbangan Pembinaan Usia muda dari FIFA sampai saat ini tidak ada hasil dan laporan pengguna dana tersebut di kemanain). Terserah pendapat orang tetapi dari tersebut bahwa prestasi Sepak Bola Indonesia akan dibawa keambang kehancuran oleh Nurdin Halid, Nugraha Besoes beserta Konco – Konconya di Kepengurusan Pusat PSSI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

free counters