Minggu, 04 September 2011

Cinta yang Tak Akan Pernah Pudar

“..Persija di dadaku..

Persija kebanggaanku..

Kuyakin hari ini pasti menang..”

Begitulah bunyi sepenggal lagu yang sudah saya kenal sejak saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Lagu yang dari dulu sampai sekarang sering saya nyanyikan, entah itu di kamar mandi ataupun di stadion. Lagu yang liriknya sudah melekat dan tak satu bait pun saya lupa. Dan bagi saya nyanyian itu lebih dari sekadar lagu, itu adalah seuntai doa untuk sebuah tim sepakbola yang ada di tempat saya lahir dan besar. Mungkin hal itu terdengar berlebihan namun bagi saya itu adalah sebuah pandangan, boleh setuju atau tidak.

Persija, begitulah orang biasa menyebut tim sepakbola itu. Sebuah tim sepakbola yang sudah terbentuk sejak negeri ini belum merdeka. Hampir setiap Persija berlaga, saya tak pernah melewatkan untuk menontonnya, entah dengan datang langsung ke stadion atau hanya lewat layar televisi. Memang saya suka Persija agak terlambat, saat tim ini mencapai puncak kejayaan dengan menjadi juara pada tahun 2001 saya masih belum tahu apa-apa tentang Persija apalagi sepakbola negeri ini. Tetapi sekarang rasa cinta saya terhadap Persija begitu membumbung tinggi dan secara perlahan saya juga cinta terhadap pendukung setia mereka yang dinamakan The Jakmania.

Bagi saya, Persija lebih dari sebuah jagoan. Lebih dari sebuah tim yang dijadikan tarohan ketika bertanding. Persija adalah agama ketiga saya setelah Islam dan Indonesia. Bisa dibilang awal saya menyukai Persija adalah ketika saya baru lulus sekolah dasar, ketika itu saya diajak oleh kakak saya untuk nonton langsung Persija berlaga di Stadion Lebak Bulus. Suasana di dalam stadion sungguh luar biasa sehingga membuat saya jatuh cinta dengan Persija sampai saat saya menulis tulisan ini. Sayangnya debut saya nonton langsung ke stadion sedikit tidak enak. Persib Bandung, lawan Persija ketika itu tidak berani datang karena stadion telah dibanjiri oleh pendukung Persija dan akhirnya mereka pun kalah WO.

Sejak saat itu, saya seakan berjanji dalam hati bahwa saya tidak akan berpaling dari tim ini. Meskipun ada anggapan bahwa The Jakmania adalah biang rusuh, orang kumuh, atau kaum marjinal bagi sebagian masyarakat Jakarta, saya tetap bangga mengenakan atribut Persija. Meskipun warna oranye terkesan norak, saya sungguh menyukainya karena oranye adalah warna Persija dan saya cinta Persija.

Ada lagi yang membuat saya semakin mencintai Persija, dia adalah Bambang Pamungkas. Seorang pemain, kapten, dan panutan yang menurut saya luar biasa. Mungkin banyak orang yang tidak begitu suka padanya karena permainannya lambat dan malas. Namun bagi saya itu adalah gayanya, gaya seorang pesepakbola memang berbeda-beda. Satu-satunya pemain di Indonesia yang selalu tampil elegan di dalam dan luar lapangan. Yang membuat saya semakin kagum terhadap Bepe (panggilan Bambang Pamungkas) bukan permainannya di lapangan melainkan sikap loyalitasnya terhadap Persija. Banyak klub di Indonesia yang menginginkan jasanya, namun ia tetap bertahan di Persija karena dia tak mau bermain dengan klub yang menjadi lawan Persija. Impian saya terhadapnya adalah sekadar bertatap muka atau meminta foto bareng dan tanda tangan, itu saja.

Seperti halnya cinta Bepe terhadap Persija, yang sampai saat saya menulis tulisan ini belum juga pudar, cinta saya terhadap Persija juga demikian, belum dan tidak akan pernah pudar karena tim ini sudah melekat erat di hati saya dan sangat sulit untuk melepaskannya.(Nugroho-JO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

free counters